Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, di mana tradisi keislaman berkembang pesat di tengah masyarakat. Salah satu pilar utama dalam menjaga keberlangsungan ajaran Islam di Tanah Air adalah pondok pesantren, yang menjadi pusat pendidikan agama sekaligus tempat pembinaan akhlak bagi santri. Di lingkungan pesantren, berbagai tradisi keislaman dijaga dengan baik, termasuk pembacaan shalawat dan qasidah sebagai bentuk ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad saw. Salah satu qasidah yang paling sering dilantunkan adalah Qasidah Burdah, sebuah syair pujian kepada Rasulullah saw. yang telah diwariskan turun-temurun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan santri dan masyarakat Muslim di Indonesia.

Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, Qasidah Burdah memiliki tempat istimewa. Tradisi pembacaan Qasidah Burdah kerap ditemukan dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi, istighotsah, hingga pengajian rutin. NU sebagai penjaga tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah turut mendorong pelestarian qasidah ini sebagai sarana untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah saw. dan memperkuat nilai-nilai spiritual umat Islam. Tak hanya di pesantren, pembacaan Qasidah Burdah juga sering dijumpai di masjid-masjid dan majelis taklim di berbagai daerah, menandakan bahwa warisan spiritual ini tetap hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat.

Qasidah Burdah merupakan salah satu shalawat yang sangat populer di Indonesia, sering dibacakan dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad saw serta menjadi bacaan rutin di berbagai pondok pesantren dan majelis taklim. Syair-syair dalam Qasidah Burdah tidak hanya berisi pujian kepada Rasulullah saw, tetapi juga memuat pesan moral, nilai spiritual, dan semangat perjuangan dalam mengarungi kehidupan.

Profil Imam Bushiri

Disusun oleh Imam al-Bushiri (Syarafuddin Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Sa’id ibn Hammad ibn Muhsin ibn ‘Abdullah As-Kabila Bani Habnun), seorang ulama, sufi, dan sastrawan besar, Qasidah Burdah lahir dari cinta mendalam kepada Rasulullah saw. Al-Bushiri, yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Sa’id bin Himad bin Abdullah ash-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri, lahir pada 609 H di Mesir dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia dididik langsung oleh ayahnya dalam ilmu Al-Qur’an dan kemudian berguru kepada ulama-ulama besar, termasuk Syekh Abul ‘Abbas al-Mursi, murid kesayangan Imam Abu Hasan as-Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah.

Keilmuan dan kesufiannya membawa al-Bushiri menghasilkan karya-karya monumental dalam dunia sastra Islam. Beberapa di antaranya adalah al-Hamziyyah, al-Haiyyah, al-Daliyyah, dan Qasidah Mudhriyyah. Namun, yang paling terkenal adalah al-Kawâkibud Duriyyah fî Madhi Khairil Bariyyah atau lebih dikenal sebagai Qasidah Burdah. Karya ini tidak hanya bertahan dalam sejarah, tetapi juga banyak disyarahi oleh ulama besar seperti Syekh Ali al-Qari, Imam al-Baijuri, dan Syekh Badruddin Muhammad al-Ghazi.

Qasidah Burdah tidak lahir begitu saja. Imam al-Bushiri menggubahnya dalam kondisi sakit lumpuh, berharap mendapatkan syafaat Rasulullah saw. Dalam suatu malam, ia bermimpi bertemu Rasulullah saw, yang kemudian mengusap tubuhnya dengan penuh berkah. Ketika terbangun, al-Bushiri mendapati dirinya sembuh total. Kejadian ini menjadi awal dari kemasyhuran Qasidah Burdah, yang kemudian banyak diamalkan oleh umat Islam sebagai bentuk wasilah atau tawasul kepada Rasulullah saw.

Qasidah Burdah

Dalam struktur penyusunannya, Qasidah Burdah memiliki keunikan tersendiri. Selain memuji keagungan Rasulullah saw, syair-syairnya juga menceritakan kelahiran, mukjizat, serta perjuangan Rasulullah saw dalam menyebarkan Islam. Al-Bushiri juga mengingatkan manusia akan bahaya hawa nafsu, mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’raj, serta menjelaskan pentingnya tawasul dan permohonan syafaat. Semua ini ditutup dengan munajat dan pengakuan kehinaan seorang hamba di hadapan Allah swt.

Keistimewaan Qasidah Burdah tidak hanya terletak pada kandungan syairnya, tetapi juga pada keberkahannya yang telah dirasakan oleh banyak orang. Dalam kitab az-Zubdah fî Syarhil Burdah, diceritakan seorang yang sakit mata parah mendapat petunjuk dalam mimpi untuk meletakkan Qasidah Burdah di depan matanya. Setelah melaksanakan petunjuk itu, ia pun sembuh. Kejadian serupa juga banyak dicatat oleh para ulama, yang menguatkan keyakinan bahwa Qasidah Burdah menjadi sarana tawasul kepada Rasulullah saw, bukan sebagai jimat atau sesuatu yang memiliki kekuatan magis.

Dalam penggunaannya, Qasidah Burdah sebaiknya dibaca dengan penuh adab dan kesucian. Membacanya bukan sekadar melantunkan pujian, tetapi juga meneladani kehidupan Rasulullah saw serta meningkatkan kecintaan kepada beliau.

Beberapa adab dalam membaca Qasidah Burdah meliputi membaca surat al-Fatihah untuk Rasulullah saw dan Imam al-Bushiri, mengawali dengan shalawat, serta membacanya dengan penuh kekhusyukan. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ali al-Qari, Qasidah Burdah adalah bentuk penghormatan kepada Rasulullah saw, yang dapat menjadi sarana doa dan wasilah kepada Allah swt.

Dengan demikian, Qasidah Burdah bukan hanya sekadar syair pujian, tetapi juga merupakan warisan spiritual yang sarat dengan makna dan keberkahan. Pembacaannya menjadi bukti cinta kepada Rasulullah saw dan wujud harapan untuk mendapatkan syafaatnya kelak di hari kiamat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Full Name

Email Address

Website

Message