Salah satu thoriqoh mu‘tabarah yang banyak dianut oleh kaum muslimin di Nusantara adalah Thoriqoh Tijaniyyah. Sebelum mendapatkan penerimaan luas, thoriqoh ini sempat mengalami berbagai polemik yang tidak lepas dari sosok pendirinya, Syekh Ahmad At-Tijani. Beliau adalah seorang wali Allah yang mendapatkan ijazah langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebagian pihak menolak keyakinan tersebut dengan alasan bahwa mustahil Rasulullah yang telah wafat ratusan tahun lalu bisa memberikan ijazah. Namun, para pengamal thoriqoh ini meyakini bahwa Rasulullah memiliki kemampuan untuk menampakkan diri secara kasatmata dan berinteraksi dengan umatnya yang telah dianugerahi keistimewaan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Di antara hamba-hamba pilihan tersebut adalah Syekh Ahmad At-Tijani.
Biografi Syekh Ahmad At-Tijani
Biografi dan perjalanan ruhani beliau tercatat dalam berbagai kitab, salah satunya Faidhur Rabbânî karya ulama besar Tijaniyyah asal Surabaya, Syekh Muhammad Yusuf. Kitab ini menjadi rujukan utama dalam mengenal manaqib Syekh Ahmad At-Tijani dan sering dibaca oleh para pengamal thoriqoh ini, dengan keyakinan bahwa kitab tersebut mengandung keberkahan bagi siapa pun yang membaca dan mendengarkannya.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Syekh Ahmad At-Tijani lahir di daerah ‘Ain Madhi, Provinsi Laghouat, Aljazair, pada tahun 1150 H atau 1737 M. Beliau berasal dari keluarga yang dikenal sebagai dzuriyyah Rasulullah melalui jalur Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Sejak kecil, kecerdasan dan semangat belajarnya telah tampak jelas. Pada usia tujuh tahun, beliau telah menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan Syekh Muhammad Hamawi.
Perjalanannya dalam menuntut ilmu terus berlanjut hingga beliau menguasai berbagai disiplin ilmu, termasuk ushul, furu‘, dan ilmu tasawuf. Beliau mendalami kitab-kitab klasik seperti Mukhtashar Syekh Khalil dan Muqaddimah Ibnu Rusyd kepada Syekh Ibnu Bu‘afiyah Al-Madhawi At-Tijani. Di usia remaja, beliau telah dipercaya untuk mengajarkan ilmu Hadits, Tafsir, Fiqih, Tauhid, dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Yatim Piatu
Pada usia 16 tahun, kedua orang tua beliau wafat akibat wabah. Namun, cobaan ini tidak menghalangi semangatnya untuk terus menuntut ilmu. Di usia 21 tahun, beliau hijrah ke Kota Fez, Maroko, dan berguru kepada sejumlah ulama besar, termasuk Syekh At-Thayyib Alwâni dan Syekh Ahmad As-Shaqali, seorang wali qutub di masanya. Beliau juga belajar kepada Syekh Abul ‘Abbas Ahmad At-Thawasyi, yang kemudian men-talqin beliau dengan zikir khusus dan memerintahkan untuk berkhalwat hingga mendapatkan futuh.
Pada tahun 1186 H, Syekh Ahmad At-Tijani menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Dalam perjalanannya, beliau bertemu dengan banyak ulama dan wali besar, termasuk Syekh Abdullah bin Abdurrahman Al-Azhari di Azwawi, Syekh Abdussomad Ar-Rakhawi di Tunisia, dan Syekh Mahmud Al-Kurdy di Kairo. Di Makkah, beliau berguru kepada Syekh Abil ‘Abbas Muhammad bin Abdullah Al-Hindi, yang banyak memberikan ilmu, hikmah, serta doa-doa keberkahan.
Setelah menunaikan ibadah haji, beliau bertolak ke Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah. Di sana, beliau bertemu dengan pendiri Thoriqoh Sammaniyyah, Syekh Samman, yang menyampaikan bahwa Syekh Ahmad At-Tijani kelak akan menjadi seorang wali dengan gelar Quthbul Jami‘.
Bertemu Rasulullah
Dalam perjalanan pulang, beliau kembali transit di Kairo dan mendapatkan izin dari Syekh Mahmud Al-Kurdy untuk menyebarkan Thoriqoh Khalwatiyyah. Setelah menetap di beberapa kota seperti Tilimsan, As-Shahra, Syalalah, Atwat, dan Abi Samghun, beliau semakin mendalami dimensi spiritual hingga akhirnya mencapai maqam yang sangat tinggi. Dalam khalwatnya di Abi Samghun dan Syalalah, beliau mendapatkan anugerah luar biasa—berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara kasatmata.
Dalam pertemuan itu, Rasulullah memberikan ijazah wirid khusus yang kemudian diamalkan dan diajarkan kepada murid-murid beliau. Pada tahun 1200 H, saat usianya genap 50 tahun, beliau mendapatkan talqin langsung dari Rasulullah berupa bacaan Hailalah serta perintah untuk meninggalkan semua bacaan thoriqoh lain. Peristiwa ini menjadi tonggak awal lahirnya Thoriqoh Tijaniyyah.
Pada bulan Muharram 1214 H, Syekh Ahmad At-Tijani memperoleh maqam Wali Quthbaniyyatul ‘Udhma. Kemudian, pada tanggal 18 Safar 1214 H, beliau mencapai derajat Khatimul Auliya’. Momentum ini hingga kini diperingati oleh para pengamal Thoriqoh Tijaniyyah sebagai Idul Khatmi.
Gelar Khatimul Auliya’ sempat menimbulkan kontroversi karena secara harfiah bermakna “penutup para wali”, seolah tidak ada wali setelah beliau. Namun, menurut para ulama Tijaniyyah, makna gelar ini bukan berarti tidak ada wali setelahnya, tetapi maqam wilayah tertinggi telah dicapai oleh beliau.
Sebagaimana dijelaskan oleh Muqaddam Tarekat Tijaniyyah, KH Tb Ahmad Rifqi Chowash, bahwa gelar ini menunjukkan bahwa maqam beliau tidak ada bandingannya di antara para auliya.
Dalam hierarki kewalian, maqam Wilayatul ‘Uzhma hanya diberikan kepada para sahabat Rasulullah karena mereka adalah murid langsung beliau. Maka, para wali setelahnya, meskipun mereka memiliki maqam tinggi, tetap berada di bawah para sahabat. Namun, khusus bagi Khatimul Auliya’, maqam ini berada sejajar dengan para sahabat karena seluruh ajarannya diawasi langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Wallahu A‘lam.